Selasa, 19 Mei 2009

Kajian menarik kelas prajurit SAMURAI

IDENTITAS BUKU
Judul Buku : SAMURAI: Sejarah dan Perkembangan
Pengarang : H. Paul Varley dengan Ivan Morris & Nobuko Morris
Penerbit/Kota : Komunitas Bambu, Jakarta 2008
Jmlh Bab/Hlm : 5 Bab/186 hlm

Samurai adalah salah satu dari sedikit kelas ksatria yang berasal dari kehidupan tradisional masyarakat pra-modern Jepang. Usia eksistensi samurai sama tuanya dengan usia kekaisaran Jepang itu sendiri. Sejak abad ke-4 M, semangat keprajuritan selalu digambarkan dalam bentuk ukiran patung kecil haniwa. Selain patung tanah liat haniwa, makam-makam kuno dari zaman itu biasanya disertai juga beberapa peralatan bertempur berupa pedang, busur, dan baju zirah. Peninggalan-peninggalan tersebut membuktikan patriotisme dan semangat militer kelas ksatria Jepang zaman kuno.
Istilah samurai sendiri baru mulai dikenal di penghujung akhir zaman Heian (794-1185 M). Setelah ditenggelamkan oleh estetika dan romatisme bangsawan istana selama beberapa abad, kesangaran gaya hidup kelas prajurit baru ditunjukkan kembali sekitar abad ke-10 M. Semangat kemiliteran bangkit menentang otokrasi bangsawan istana Heian di Kyoto. Marga-marga yang mulanya diberi kuasa oleh istana untuk mengontrol pajak tanah di daerah-daerah berbalik mengatas namakan tanah tersebut sebagai milik pribadi.
Samurai era pra-modern bukanlah prajurit pembela tanah air dan kaisar, seperti yang diketahui orang kebanyakan. Semangat samurai zaman itu semata ditujukan bagi kehormatan diri, keluarga, dan kekuasaan atas tanah masing-masing. Mereka lebih senang berduel satu lawan satu ketimbang pemusatan pasukan yang terkoordinasi. Setelah sebuah negara militer feodal terbentuk di Kamakura, samurai mulai mendapat penyaluran berupa sistem administrasi samurai yang tersusun rapi.
Pada era Kamakura (1185-1333 M) inilah, samurai Jepang dihadapkan pada perang besar dengan bangsa Mongol dari daratan China. Alasannya hanya karena bangsa Jepang enggan menjadi vasal kaisar China dengan membayar upeti secara berkala. Bangsa Jepang tidak ingin dianggap lebih rendah, ditambah semangat “mempertaruhkan nyawa demi satu tempat” turunan nenek moyang mereka. Pecahlah perang di Semenanjung Hakata tahun 1274 dan 1281 antara tentara Mongol dengan tentara vasal Bakufu Kamakura di pulau Kyushu. Lumayan banyak literatur berbentuk karya sastra atau lukisan yang menggambarkan sisi heroik samurai-samurai Kyushu dalam mempertahankan wilayah mereka. Meski demikian, kontribusi para samurai dalam pertempuran tersebut tidak pernah diterima oleh masyarakat feodal Jepang selama berabad-abad. Kepercayaan mistik dan religius yang kental masih membayangi masyarakat pra-modern kala itu. Masyarakat percaya kemenangan Jepang atas Mongol merupakan pemberian dewa, yang mengirim “angin dewa” atau kamikaze berupa badai lebat untuk mempora-porandakan armada kapal Mongol.
Kemenangan Kamakura atas Mongol tidak lantas menarik hati para bangsawan istana. Istana Heian yang sudah kehilangan pengaruhnya hanya menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang yang tidak puas atas rezim Kamakura. Kaisar Godaigo merasa harus turun tangan mengatasi sikap diktator marga Hojo dari Kamakura, hasilnya Godaigo dipaksa turun tahta dan mendapat pengasingan. Pada periode inilah terjadi perpecahan istana ke dalam dua kubu, istana selatan di gunung Yoshino dan utara di Kyoto.
Sejak tahun 1336-1392, keluarga Ahikaga menguasai Kyoto beserta seluruh aset peninggalan rezim Kamakura yang berhasil diruntuhan tahun 1333. Ashikaga membangun keshogunan baru yang diberi nama Bakufu Muromachi. Periode ini penuh kekacauan, stabilitas politik tidak berhasil ditegakkan para Shogun Ashikaga. Mereka terlalu silau akan kemewahan gaya hidup istana dan melupakan kekuatan besar tengah dihimpun para penguasa di provinsi.
Ashikaga dianggap gagal mempertahankan kepercayaan para vasal dari tuan tanah. Krisis ini menimbulkan pembangkangan dan pemberontakan dari para vasal yang ditugasi sebagai deputi administrasi provinsi-provinsi Jepang. Ujung pertikaian ini adalah pecahnya perang Onin pada tahun 1467-1477. Perang sepuluh tahun ini merupakan awal dari era Peperangan Antar Provinsi atau lebih dikenal dengan sebutan Sengoku Jidai. Zaman ini dipenuhi perang saudara. Samurai menegakkan kekuasaan sendiri-sendiri menliputi tanah milik pribadi. Munculah kebiasaan memperluas tanah kekuasaan dengan jalan ekspansi militer, semakin luas wilayah, semakin bertambah pula harta kekayaan sebuah keluarga samurai.
Zaman Sengoku memaksa para penguasa bertindak kritis. Rasa saling tidak percaya lambat laun menjadi bagian pemikiran tersendiri dari para pelaku pemerintahan yang tidak lain adalah golongan samurai. Aksi memata-matai satu sama lain menjadi kegiatan biasa.
Pertikaian antar samurai era Sengoku mereda setelah kemunculan hasrat luar biasa dari seorang penguasa bernama Oda Nobunaga untuk mempersatukan Jepang. Sekitar pertengahan abad ke-16, pengganti Nobunaga adalah Toyotomi Hideyoshi. Pada masanya kelas samurai dipisah dari kelas orang kebanyakan. Pada zaman Hideyoshi pula samurai mendapat aturan ketat yang selanjutnya diperbaharui dan terapkan oleh keluarga Tokugawa. Pembatasan gerak-gerik samurai ini mengantarkan era Tokugawa menjadi masa damai terpanjang sampai Jepang mendapat tekanan hebat dari kedatangan bertubi-tubi bangsa barat pada abad ke-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar