Selasa, 19 Mei 2009

Sekilas tentang gerakan petani lokal

IDENTITAS BUKU
Judul : Peristiwa Cimareme 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi
Penulis : Chusnul Hayati
Penerbit : Mimbar dan Yayasan Adikarya Ikapi, serta The Ford Foundation
Tahun : 2000

REVIEW
Sejarah petani sering hilang dari perputaran historiografi Indonesia. Seperti apa yang pernah diutarakan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, sejarah petani baru memperlihatkan bentuknya sekitar awal abad ke-19. Pola kehidupan petani muncul ke permukaan seiring pergerakan sosial dan perubahan sosial masyarakat pedesaan sejak culturstelsel, tahun 1930. Buku ini merupakan tesis S2 dari Chusnul Hayati. Tema yang diangkatnya sangat menarik, yaitu Peristiwa Cimareme 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi. H. Hasan sendiri adalah juragan pemilik sawah di desa Cimareme, kabupaten Garut, artinya dia termasuk golongan petani tingkat atas. Dalam buku ini Chusnul Hayati tidak hanya menyoroti bentuk-bentuk perlawanan H. Hasan, tetapi juga berusaha mengungkap ideologi perlawanan perang sabil, serta hubungannya dengan gerakan rahasia Sarekat Islam.
Tahun 1900, pemerintah kolonial dihadapkan pada permasalahan krisis beras. Padi dalam negeri terserang gagal panen, sedangkan impor beras dari luar negeri terhambat masalah transportasi dan embargo. Tahun 1919, untuk menghindari kritik dari berbagai pihak, pemerintah kolonial membuat kebijakan pembelian satu pikul padi dari satu sawah yang dimiliki petani di daerah-daerah. Tidak terkecuali Garut. Bahkan di daerah ini peraturannya lebih berat, yaitu empat pikul padi untuk satu bau sawah.
H. Hasan merasa tidak terima atas peraturan yang mewajibkannya menjual empat pikul padi untuk satu bau sawahnya. H. Hasan memiliki 10 bau sawah, artinya ia harus menyerahkan setidaknya 40 pikul dengan harga miring yang di patok pemerintah kolonial. H. Hasan bertekad akan melancarkan perlawanan dengan berlandas ideologi perang sabil, apabila pejabat pribumi dan kolonial tetap bersikukuh pada kebijakannya.
Menurut apa yang dituliskan Chusnul Hayati, H. Hasan memutuskan berjuang secara filsabilillah bukan hanya karena penolakkannya terhadap peraturan pembelian padi. Sikap kasar Wedana Leles yang mengancam akan menyita sawah H. Hasan-lah pemicu perlawanan. Walaupun akhirnya Wedana Leles di diturunkan dari jabatannya, para pejabat lain tetap memaksa H. Hasan ikut ke Garut untuk membeicarakan masalah ini. H. Hasan tidak tunduk. Bersama pengikut-pengikutnya, H. Hasan mengenakan jubah serba putih serta membawa golok dan parang, mereka bersiap berperang melawan kekafiran seandainya itu diperlukan.
Chusnul Hayati merangkum bentuk perlawanan H. Hasan yang ideologi perang sabil dengan menilik dari sudut pandang masyarakat dan lingkungan tempat H. Hasan tinggal. Penulis berusaha menghadirkan sebuah peristiwa historis berbasis konsep-konsep ilmu sosial. Analisis collective behavior dijadikan pembentuk kerangka berpikir untuk lebih memahami kemudian mengeksplanasikan peritiwa historic ini secara lebih luas. Walaupun perlawanan ini masih dalam lingkup sejarah lokal, namun penulis berusaha bersikap kritis terhadap dampak atau pengaruh perlawanan H. Hasan meluas ke luar.
Secara keseluruhan buku ini menarik disimak. Selain bahasanya lugas, penulis berusaha menyeimbangkan cara berpikir kritis dengan proses penulisan, sehingga hasil yang dicapai tidak berbelit-belit. Ditambah, buku ini merupakan salah satu bentuk tulisan sejarah pergerakan kaum petani yang sempat diabaikan dalam Historiografi Indonesia.

Kajian menarik kelas prajurit SAMURAI

IDENTITAS BUKU
Judul Buku : SAMURAI: Sejarah dan Perkembangan
Pengarang : H. Paul Varley dengan Ivan Morris & Nobuko Morris
Penerbit/Kota : Komunitas Bambu, Jakarta 2008
Jmlh Bab/Hlm : 5 Bab/186 hlm

Samurai adalah salah satu dari sedikit kelas ksatria yang berasal dari kehidupan tradisional masyarakat pra-modern Jepang. Usia eksistensi samurai sama tuanya dengan usia kekaisaran Jepang itu sendiri. Sejak abad ke-4 M, semangat keprajuritan selalu digambarkan dalam bentuk ukiran patung kecil haniwa. Selain patung tanah liat haniwa, makam-makam kuno dari zaman itu biasanya disertai juga beberapa peralatan bertempur berupa pedang, busur, dan baju zirah. Peninggalan-peninggalan tersebut membuktikan patriotisme dan semangat militer kelas ksatria Jepang zaman kuno.
Istilah samurai sendiri baru mulai dikenal di penghujung akhir zaman Heian (794-1185 M). Setelah ditenggelamkan oleh estetika dan romatisme bangsawan istana selama beberapa abad, kesangaran gaya hidup kelas prajurit baru ditunjukkan kembali sekitar abad ke-10 M. Semangat kemiliteran bangkit menentang otokrasi bangsawan istana Heian di Kyoto. Marga-marga yang mulanya diberi kuasa oleh istana untuk mengontrol pajak tanah di daerah-daerah berbalik mengatas namakan tanah tersebut sebagai milik pribadi.
Samurai era pra-modern bukanlah prajurit pembela tanah air dan kaisar, seperti yang diketahui orang kebanyakan. Semangat samurai zaman itu semata ditujukan bagi kehormatan diri, keluarga, dan kekuasaan atas tanah masing-masing. Mereka lebih senang berduel satu lawan satu ketimbang pemusatan pasukan yang terkoordinasi. Setelah sebuah negara militer feodal terbentuk di Kamakura, samurai mulai mendapat penyaluran berupa sistem administrasi samurai yang tersusun rapi.
Pada era Kamakura (1185-1333 M) inilah, samurai Jepang dihadapkan pada perang besar dengan bangsa Mongol dari daratan China. Alasannya hanya karena bangsa Jepang enggan menjadi vasal kaisar China dengan membayar upeti secara berkala. Bangsa Jepang tidak ingin dianggap lebih rendah, ditambah semangat “mempertaruhkan nyawa demi satu tempat” turunan nenek moyang mereka. Pecahlah perang di Semenanjung Hakata tahun 1274 dan 1281 antara tentara Mongol dengan tentara vasal Bakufu Kamakura di pulau Kyushu. Lumayan banyak literatur berbentuk karya sastra atau lukisan yang menggambarkan sisi heroik samurai-samurai Kyushu dalam mempertahankan wilayah mereka. Meski demikian, kontribusi para samurai dalam pertempuran tersebut tidak pernah diterima oleh masyarakat feodal Jepang selama berabad-abad. Kepercayaan mistik dan religius yang kental masih membayangi masyarakat pra-modern kala itu. Masyarakat percaya kemenangan Jepang atas Mongol merupakan pemberian dewa, yang mengirim “angin dewa” atau kamikaze berupa badai lebat untuk mempora-porandakan armada kapal Mongol.
Kemenangan Kamakura atas Mongol tidak lantas menarik hati para bangsawan istana. Istana Heian yang sudah kehilangan pengaruhnya hanya menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang yang tidak puas atas rezim Kamakura. Kaisar Godaigo merasa harus turun tangan mengatasi sikap diktator marga Hojo dari Kamakura, hasilnya Godaigo dipaksa turun tahta dan mendapat pengasingan. Pada periode inilah terjadi perpecahan istana ke dalam dua kubu, istana selatan di gunung Yoshino dan utara di Kyoto.
Sejak tahun 1336-1392, keluarga Ahikaga menguasai Kyoto beserta seluruh aset peninggalan rezim Kamakura yang berhasil diruntuhan tahun 1333. Ashikaga membangun keshogunan baru yang diberi nama Bakufu Muromachi. Periode ini penuh kekacauan, stabilitas politik tidak berhasil ditegakkan para Shogun Ashikaga. Mereka terlalu silau akan kemewahan gaya hidup istana dan melupakan kekuatan besar tengah dihimpun para penguasa di provinsi.
Ashikaga dianggap gagal mempertahankan kepercayaan para vasal dari tuan tanah. Krisis ini menimbulkan pembangkangan dan pemberontakan dari para vasal yang ditugasi sebagai deputi administrasi provinsi-provinsi Jepang. Ujung pertikaian ini adalah pecahnya perang Onin pada tahun 1467-1477. Perang sepuluh tahun ini merupakan awal dari era Peperangan Antar Provinsi atau lebih dikenal dengan sebutan Sengoku Jidai. Zaman ini dipenuhi perang saudara. Samurai menegakkan kekuasaan sendiri-sendiri menliputi tanah milik pribadi. Munculah kebiasaan memperluas tanah kekuasaan dengan jalan ekspansi militer, semakin luas wilayah, semakin bertambah pula harta kekayaan sebuah keluarga samurai.
Zaman Sengoku memaksa para penguasa bertindak kritis. Rasa saling tidak percaya lambat laun menjadi bagian pemikiran tersendiri dari para pelaku pemerintahan yang tidak lain adalah golongan samurai. Aksi memata-matai satu sama lain menjadi kegiatan biasa.
Pertikaian antar samurai era Sengoku mereda setelah kemunculan hasrat luar biasa dari seorang penguasa bernama Oda Nobunaga untuk mempersatukan Jepang. Sekitar pertengahan abad ke-16, pengganti Nobunaga adalah Toyotomi Hideyoshi. Pada masanya kelas samurai dipisah dari kelas orang kebanyakan. Pada zaman Hideyoshi pula samurai mendapat aturan ketat yang selanjutnya diperbaharui dan terapkan oleh keluarga Tokugawa. Pembatasan gerak-gerik samurai ini mengantarkan era Tokugawa menjadi masa damai terpanjang sampai Jepang mendapat tekanan hebat dari kedatangan bertubi-tubi bangsa barat pada abad ke-19.

Jumat, 15 Mei 2009

GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL THE PIONEER OF CRITICAL PHILOSOPHY OF HISTORY

BIOGRAFI SINGKAT

Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah adalah seorang filsuf idealis Jerman yang lahir di Stuttgart, 27 Agustus 1770 (kini di Jerman barat daya). Hegel mengenyam pendidikan di Universitas Tübingen dari tahun 1788 sampai 1793. Setelah usai tugasnya sebagai turor di Bern dan Frankfurt, Hegel menjadi dosen kemudian berlanjut menjabat sebagai guru besar Universitas Jena.[1] Ia wafat dalam umur 61 tahun pada 14 November 1831 karena penyakit kolera.

Hegellah yang pertama kali memperkenalkan dalam filsafat, gagasan bahwa Sejarah dan hal yang konkret adalah penting untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan pentingnya “Yang Lain” dalam proses pencapaian kesadaran. Seluruh tulisan Hegel tidap pernah lepas dari ide tentang “Pikiran” atau metafisika. Meski demikian, ide-ide metafisika tersebut dirangkai sedemikian rupa agar pas dengan dimensi sejarah sebuah bangsa. Menurut Hegel sejarah dunia merupakan perkembangan kesadaran akan kebebasan bagian dari realitas pikiran.[2]

KARYA

Selama hidupnya Hegel hanya menelurkan empat buah karya utama, meski demikian memberikan pengaruh besar terutama terhadap perkembangan ilmu filsafat. Ada pun karya-karyanya tersebut adalah (1) System der Wissenchaft Erster Theil die Phänomenologie des Geistes (diterjemahkan menjadi The Phenomenology of Spirit), (2) Wissenschaft der Logik (diterjemahkan menjadi Science of Logic). Ketika menjabat sebagai dosen filsafat di Universitas Heidelberg, Hegel menerbitkan (3) Enzyklopädie Der philosophy Wissenschaften in Grundrisse yang versi terjemahannya di pecah menjadi beberapa seri ensiklopedia, yaitu: Encyclopedia Logic, Philosophy of Nature, dan Philosophy of Subjective Spirit.[3] Serangkaian seri ensiklopedia filsafat di atas terus direvisi dan diterbitkan dalam kurun waktu 1827-1830,[4] berbarengan dengan sejumlah kuliah filsafatnya selama musim dingin tahun 1830-1831 di Universitas Berlin yang dirangkum ke dalam buku (4) Philosophy of History, sampai sepeninggalnya Hegel tahun 1831.[5]

Selain karya-karya utama Hegel yang telah dipaparkan sebelumnya, pengaruh pemikiran Hegel diperkuat dengan hadirnya intisari kuliahnya selama mengajar di Universitas Berlin yang diterbitkan ke dalam serangkaian tulisan filsafat:[6]

  1. Kuliah tentang Estetika
  2. Kuliah tentang Filsafat Agama
  3. Kuliah tentang Sejarah Filsafat
  4. Political Essay

PEMIKIRAN, PANDANGAN, DAN KONTRIBUSI

Hegel memiliki banyak pemikiran tentang filsafat dalam berbagai cabang filsafat. Ada pun yang begitu fenomenal yakni pemikirannya mengenai filsafat sejarah dan konsep negara integralistik. Dalam pemikirannya tentang konsep nedara integralistik ini, ia beranggapan bahwa negara merupakan penjelmaan “ Roh Absolut“ (Great Spirit atau Absolute Idea). Oleh karena itu negara bersifat absolut yang dimensi kekuasaannya melampaui hak-hak transedental individu.[7] Wujud perkembangannya melalui proses dialektika yang dikenal dengan tesis, antitesis, sistensis, yang terus berlanjut pada tesis-antitesis dan seterusnya. Puncaknya adalah lahirnya ide mutlak. Pandangannya akan roh absolute ini merepresentasikan akan kesakralan negara di mata Hegel. Baginya negara merupakan the state is divine idea as it exists on earth, sebagai wujud keterlibatan Tuhan di bumi.[8] Sementara itu pemikirannya yang lain yang juga fenomenal ialah mengenai filsafat sejarah. Dalam pemikirannnya ini, ia beranggapan bahwa sejarah dibimbing oleh roh dan bertujuan membebaskan manusia. Namun, roh itu tidak tampil secara abstrak dan umum, melainkan menjadi konkret dalam roh-roh yang menandai bangsa-bangsa. Roh bangsa tertentu menentukan panggilan dan nasib historisnya.[9]

Hegel berpendapat sejarah merupakan gerakan kebebasan yang ditafsirkan sebagai keinginan dari “Roh Dunia”. Roh-roh tersebut berusaha merealisasikan diri menggunakan peradaban bangsa atau dalam konteks ini di sebut sejarah umat manusia.

Sejarah umat manusia tidak lepas dari sejarah peradaban dan kebangkitan sebuah negara. Seperti apa yang telah dijabarkan sebelumnya mengenai filsafat sejarah dan konsep negara integralistik Hegel. Karl Marx adalah salah satu yang tertarik merinci kemudian mengkritik segala pemikiran Hegel yang dianggap kontroversional. Diantaranya pernyataan bahwa filsafat menunjukkan bagaimana negara mengekspresikan kesatuan daripada sebuah kehidupan bangsa. Negara adalah “aktualitas dari kebebasan yang konkrit”.[10]

Sementara itu dalam karya Hegel yang fenomenal yakni Filsafat Sejarah, Hegel menerangkan bahwa ia tidak menulis sejarah namun menulis Filsafat. Jika sejarah berbicara mengenai apa yang terjadi di masa lampau atau dalam perkembangannya yang maju membahas masa depan, maka sejarah dalam kerangka filsafat membicarakan apa yang ada memiliki eksistensi abadi-yakni rasio.[11]

Menurut Karl Lowith seluruh filsafat Hegel dipahami secara historis. Seluruh pengertian mendasar Hegel memperoleh makna dan arti penting dalam konteks sejarah. Seluruh sistemnya, secara fundamental diuraikan dengan panjang lebar, dikaitkan dengan sejarah, seolah-olah dihadapannya tidak ada filsafat yang lain.[12] Bentuk pernyataan ini secara jelas tampak pada kumpulan kuliahnya yang bertajuk Filsafat Sejarah.

Dalam setiap pemikirannya, filsafat Hegel memiliki konsepsi bahwa segala sesuatu dibangun dari suat keyakinan dasar tentang “kesatuan”. Universe sebagai simbol kesatuan adalah manifestasi dari “yang mutlak”. dalam hal ini yang parsial tidak di artikan sebagai ilusi, tetapi yang parsial hadir sebagai tahap perkembangan menuju kesatuan, maka yang parsial hanya dapat dimengerti dalam kerangka kesatuan.[13]

Selain konsepsi tersebut, Hegel juga mempuanyai beberapa paham dasar. Adapun di antaranya:[14]

1. Manusia: produk pekerjaannya sendiri.

Konsep yang satu ini mengandung pengertian bahwa manusia ada dalam perkembanganya adalah sebuah proses bukan substansi melainkan “subject”, ini berarti manusia “hanyalah nyata sejauh ia adalah gerakan penempatan diri atau pengantaran dari menjadi lain dengan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri”

2. Rasionalitas.

Dalam konsepnya ini Hegel menuturkan bahwa manusia mengalami proses dalam kesadarannya sebagai peningkatan pengertianya yang menyeluruh dan kesadaran itu mengungkapkan sebuah peningkatan rasionalitas dalam sejarah.

3. Kebebasan.

Kebebasan di mata Hegel, diartikan sebagai sebuah kemajuan. Oleh karena itu, Sejarah dianggap sebagai sebuah gerakan kebebasan karena pada hakikatnya sejarah itu maju. Sebagai contoh kebebasan satu orang (penguasa kejaraan Timur Kuno) melalui kebebasan beberapa orang, maka akan membebaskan semua orang.

4. Dialektika.

Dialektika yang dimaksud oleh Hegel adalah negativitas kemajuan ke arah kebebasan. Urutannya sebagai berikut: Tesis (Agama) -> Antotesis (Kebebasan) -> Sistensis (Demokrasi Liberal).

KRITIK TERHADAP HEGEL

Tulisan Hegel dalam Elements of The Philosophy of Right bahwa filsafat adalah “masanya sendiri yang berkembang menjadi pemikiran”, mengisyaratkan para filsuf bisa menghasilkan kebenaran abadi dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini kemudian berbuntut pada keberagaman pandangan orang terhadap Hegel. Di satu sisi sebagian menolak, hal ini disebabkan karena Hegel dianggap telah memanipulasi data sejarah agar sesuai dengan ide-ide filsafatnya, sedangkan yang lainnya memujinya lantaran dia telah mengenalkan dimensi sejarah kepada filsafat. Namun, diantara dua kubu yang berbeda pandangan tersebut sepakat bahwa pengaruh Hegel pada pemikiran (termasuk Filsafat Sejarah) abad 19 dan 20 sendiri membuat penting untuk memahami apa yang dia nyatakan.[15]

Berbagai ide yang telah dilontarkan Hegel selama masa hidupnya mendapat pro dan kontra. Di satu sisi ia mempunyai banyak pengikut, tetapi di sisi lain banyak pula para filsuf penentang gagasan-gagasan Hegel. Para pengikut Hegel sendiri terbagi menjadi dua golongan yakni golongan tua dan golongan muda. Adapun yang berasal dari golongan muda salah satunya ialah Karl Marx. Sementara itu, pengikut-pengikutnya yang lain antara lain Sartre, Lacan, dan Kojeve, Theoder Adorno, Jurgen Habermas, dan H.G. Gadamer.[16] Selain nama di atas, masih ada pula pengaggum Hegel yakni F. H. Bradley, HansKüng, Bruno Bauer, Max Stirner.[17]

Golongan penentang ide-ide Hegel antara lain Russell dan G.E. Moore. Di akhir abad ke-19 ketika sebagian filsuf menyerang habis-habisan ide-ide Hegel, ada golongan-golongan yang berusaha membangkitkan kembali minat terhadap Hegel. Adapun di antara mereka yaitu G.R.G. Mure, F.H. Bradleey, William Wallace, R.G. Colling Wood, T.X. Knox.[18]




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel (diakses tanggal 23/2/09)

[2] Lihat Marnie Hughes, Warrington. 50 Tokoh Penting dalam Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Bab G.W.F. Hegel, hlm 258-270.

[3] Ibid. hlm 260.

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel (diakses tanggal 23/2/09)

[5] Lihat prakata Charles Hegel dalam G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002, hlm xxiii-xxvii.

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel, Op. Cit.

[7] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm.258.

[8] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat (sejarah, filsafat, ideologi, dan pengaruhnya terhadap dunia ke tiga), Jakarta: Bumi aksara, 2006, hlm. 165.

[9] Van der weij, P.A., Filsuf-filsuf besar tentang manusia, Jakarta: PT Gramedia, 1988, hlm.105.

[10] Cyril Smith, “Kritik Marx Terhadap Hegel”, dalam http://www.marxists.org/indonesia/reference/

smith/marx-hegel.ht (diakses tanggal 23/2/09)

[11] Mengenai hal ini baca G.W.F. Hegel, Op. Cit.

[12] Lihat kata pengantar C.J. Friedrich untuk The Philosophy of History edisi Dover dalam G.W.F. Hegel, Ibid., hlm v-xiii.

[13] Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm.72.

[14] Franz Magnis-Suseno, Pijar-pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm 77-84.

[15] Marnie Hughes, Warrington, Op.Cit., hlm. 259.

[16] Ibid., hlm 269.

[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel. Op. Cit.

[18] Marnie Hughes, Warrington. Op.Cit., hlm. 269-270.